Senin, 30 Agustus 2010

khotbah kelurga

Orangtua yang Bertanggung Jawab
Nats : Efesus 6:4; Kolose 3:21; Amsal 13:24

  Topik kali ini adalah bagaimana sikap orangtua di dalam mendidik anak. Pada zaman sekarang, Efesus 6:4 (“Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu”) ini seringkali dipakai oleh banyak anak sebagai alasan untuk mempersalahkan orangtuanya, seolah-olah orangtua tidak boleh membuat mereka marah. Tetapi mereka melupakan ketiga ayat di atasnya dimana anak-anak dituntut un­tuk taat dan hormat kepada orangtua di dalam Tuhan. Kedua hal ini merupakan ke­seim­bang­an yang penting. Di satu pihak, orangtua mempunyai batasan dalam mendidik anak­­nya, yaitu tidak boleh mendidik sampai membuat anaknya marah, sakit hati dan ta­war hati. Mendidik bukan sembarang mendidik, tetapi mendidik di dalam nasihat dan ajar­an Tuhan. Tapi di lain pihak, seorang anak dituntut untuk taat dan hormat kepada orangtua di dalam Tuhan. Inilah keseimbangan pertama.
 Keseimbangan kedua, ayat ini juga seringkali disalahartikan. Di satu pihak,  go­longan tertentu memakai ayat ini sebagai patokan, seolah-olah pendidikan tidak perlu meng­gunakan hukuman fisik. Para orangtua pun tidak boleh memarahi anaknya. Tapi di lain pihak, sebagian orang menggunakan Amsal 13 (“Siapa tidak menggunakan tong­kat, benci kepada anaknya”) sebagai alasan bagi orangtua untuk diperbolehkan me­mukuli dan menganiaya anaknya dengan begitu kejamnya. Dalam hal pendidikan anak, orangtua harus mendidik anak dengan keras. Jikalau memang diperlukan, mereka bo­leh menggunakan tongkat dan rotan namun tanpa membangkitkan amarah anaknya. Dua hal ini bukannya diper­ten­tangkan namun harus dikomplementasikan.
Cara orangtua mendidik anak sangat menentukan perkembangan anak. Jika me­reka gagal mendidik anak dengan tepat, maka anak ini nantinya akan ber­po­­tensi men­jadi anak yang sulit untuk dipegang, dan lebih buruk lagi, dia akan menjadi calon pen­jahat dan perusak masyarakat. Karena itu, pendidikan anak merupakan satu hal yang perlu dipikirkan secara serius dan tidak boleh diabaikan. Kalau anak-anak di­didik dengan baik dan benar, mereka  akan menjadi pemimpin-pemimpin masa depan yang bermoral, yang mempunyai cara hidup yang sangat integratif. Alkitab dengan ketat me­ngajarkan konsep ini, ”Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di da­lam hati anak-anakmu.” Kolose mengatakan, “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anak­­mu, supaya jangan tawar hatinya.”
Dalam aspek pendidikan anak, Alkitab memberikan penekanan lebih serius ke­pada bapa-bapa. Ada 3 alasan yang mendasari penekanan ini: Pertama, Alkitab mem­berikan penekanan yang  berbeda dengan apa yang du­nia sedang mengerti. Dunia sudah mengerti secara teoritik, fakta dan realita bahwa ibu banyak berperan dalam perkembangan anaknya karena dia mempunyai lebih banyak waktu untuk mendidik anaknya. Dengan kata lain, pendidikan anak merupakan tugas ibu dan bukan tugas bapak. Justru menjadi aneh jika ibu tidak mendidik dan mem­besarkan anaknya dengan baik. Asumsi seperti ini terlalu ekstrim dan perlu di­be­res­kan. Alkitab justru mengatakan bahwa pendidikan anak adalah tugas ayah, “Dan ka­mu, bapa-bapa, janganlah bangkit­kan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didik­lah mereka di dalam ajaran dan na­sihat Tuhan.” Seorang ayah tidak bisa meninggalkan tang­gung jawab pendidikan anak dan menyerahkan seluruh aspek pendidikan kepada ibu karena dia sendiri berperanan se­­bagai wakil Allah dalam keluarga. Alkitab secara kon­sisten dari Perjanjian Lama sam­pai Perjanjian Baru tidak pernah mengabaikan pe­ran­an ayah dalam mendidik anak. Se­men­tara saat ini, kebanyakan para ayah ti­dak mau bertanggung jawab dalam pen­di­dik­an anaknya. Inilah satu sikap yang de­ngan sengaja melawan kebenaran firman Tuhan.
                Kedua, anak belajar mengenal Allah melalui figur ayah. Kalau seorang anak mempunyai konsep yang salah tentang ayahnya, maka konsepnya tentang Allah pun salah. Jadi, kalau dia tahu papanya kejam sekali, maka dia akan punya gambaran ten­tang Allah yang kejam. Di saat seperti itu sebetulnya dia gagal mengerti Allah yang se­sung­guhnya. Kecuali jika anak ini bertobat, mengenal Tuhan dan dididik dengan Firman, perlahan-lahan konsepnya akan berubah. Namun proses mengubah konsep yang salah itu sangat sulit karena sudah berakar di kepala. Biarpun secara teori dia bisa me­ngemukakan teori Kristen yang baik tentang Allah yang tepat, tapi di dalam hatinya yang paling dalam dan pikirannya tetap dia mempunyai konsep Allah seperti ayahnya. Maka Alkitab mengajar para ayah untuk mendidik anak dengan baik. Disinilah ke­in­dah-an­nya jika seorang anak boleh dilahirkan di keluarga Kristen dimana orangtua men­di­dik­­nya di dalam iman Kristen. Inilah warisan dan anugerah yang terlalu besar yang ti­dak mungkin dimiliki jika anak itu dilahirkan di dalam keluarga non-Kristen. Namun da­lam ke­nyataannya ada pula anak yang dilahirkan dalam keluarga Kristen tetapi orang­tuanya ti­dak menjalankan tugas untuk memberikan anugerah  ter­se­but kepada anaknya. Ka­re­na itu, di Reformed, kita menjalankan baptisan anak dan orangtuanyalah yang dika­te­ki­sasi dan dituntut untuk berjanji di hadapan Tuhan dan je­maat bahwa mereka akan men­didik anaknya di dalam Tuhan. Seorang anak adalah titip­an Tuhan, tapi  tetap menjadi tang­gung jawab orangtua untuk mendidik.
Ketiga, yang seringkali membuat anak marah dan sakit hati adalah ayah. Ten­tu saja tidak semua ayah berbuat demikian. Tetapi di dalam fakta statistik, yang pa­ling sering menganiaya anak adalah ayah. Karena itulah Alkitab mengatakan, “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu.” Itulah ketiga alasan mengapa Alkitab mem­beri penekanan lebih serius pada peranan ayah dalam pendidikan anak.
Alkitab me­ngatakan dalam Amsal 13: “Siapa tidak menggunakan tong­kat, ben­ci kepada anaknya; te­tapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada wak­tu­nya.” Ada beberapa hal yang harus orangtua pikir­kan dalam hal ini: Pertama, motivasi orang­tua ketika memukul atau menghajar anak. Kunci per­tama yang terpenting di dalam mendidik anak adalah ba­gaimana saya mulai dengan mo­tivasi mengasihi anak. Yang seringkali menjadi ke-sa­lahan orangtua adalah justru pa­da saat mencintai anak, mereka tidak dapat meng­gu­na­kan tongkat, dan pada saat mem­­benci anak, tongkatlah yang menjadi alat pelam­pias­an. Dan satu hal yang juga perlu dipertimbangkan adalah jika sang anak masih dalam usia ingin mengaktifkan mo­to­riknya. Seringkali orangtua ti­dak mendidik anak karena men­cintainya tetapi karena me­­rasa jengkel dan dirugikan oleh anak. Ketika sedang jengkel, orangtua harus me­ne­duh­kan diri dan memikirkan baik-baik apakah ia layak untuk memukul dan sejauh mana ke­salahan anak itu. Dan baru­lah ia memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap anak. Sebab jikalau kita se­dang marah karena jengkel, kita dapat memukul anak tanpa ba­tas dan keadilan. Ini me­rupakan kejahatan dan kekejian di hadapan Tuhan yang di­lam­piaskan kepada orang yang tidak berdaya. Menurut konsep yang tepat, cintalah yang mengharuskan orangtua me­mukul anaknya demi kebaikannya. Seorang pendeta me­ngatakan, “Pukullah anakmu de­ngan air mata.” Ketika memukul anak, biarlah orang­tua memukul dengan menangis karena sebenarnya mereka tidak suka memukulnya. Ketika anak tahu, papanya pukul dia dengan keras te­tapi bukan karena benci melainkan karena mencintainya, anak itu akan tahu bahwa ia di­hukum keras dan mulai belajar keadilan namun ia tidak menjadi marah dan benci.
Kedua, prinsip atau orientasi yang harus dipertimbangkan ketika memukul anak. Pertimbangan pertama adalah bukan pada diri orangtua tetapi pada diri anak yaitu pikirannya, pergumulannya dan pertimbangannya. Dan pertimbangan kedua ada­lah besar-kecil kesalahannya dan hukuman yang pantas. Ketika menghukum, orientasi orangtua haruslah pada anak karena tujuan pendidikan adalah demi anak kembali pada jalur Tuhan dan mengerti nasihat dan ajaran Tuhan.
Ketiga, cara orangtua mendidik anak. Ketika menghukum anak, orangtua ha­rus tahu bagaimana caranya membuat dia mengerti kesalahannya dan bagaimana meng­hukum dia atas kesalahan itu dengan dasar keadilan dan cintakasih. Seorang anak harus dihukum karena kesalahannya, agar tidak mengulangi kesalahan yang sa­ma atau membuat kesalahan yang lebih besar lagi. Ketika melakukan tindakan peng­hukuman, orangtua harus memperhatikan tempat penghukuman. Jangan sampai kita me­mukul anak di bagian kepala karena dapat mengakibatkan radang otak. Demikian juga dengan punggung tangan anak yang dapat putus atau terkilir. Maka bagian terbaik un­tuk memukul adalah di telapak tangan dan di pantat.
      Keempat, hasil didikannya. Efesus 6 mengatakan bahwa didikan orangtua yang benar akan menghasilkan anak-anak yang terdidik di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Mereka akan mengerti tentang firman dan ajaran Tuhan. Karena itu, setelah peng­hukuman, orangtua harus memperhatikan adakah pertobatan dan perubahan da-lam diri anaknya. Pendeta Stephen Tong mengajarkan dalam Arsitek Jiwa, bahwa se­telah menghajar anak, bukannya anak menjadi benci kepada orangtua, tetapi dia men­jadi sungkan namun terus mencari mereka. Inilah paradoksikal pendidikan yang sukses. Un­tuk mencapainya, orangtua harus mampu menjalankan kasih dan keadilan secara se­­­im­bang sesuai dengan figur Allah yang tepat. Tuhan mengasihi tapi juga sekaligus meng­­hukum. Maka saat itu cinta dan keadilan tidak didualismekan tetapi justru digabungkan.
     Di tengah dunia ini, sangat sulit bagi orangtua untuk selalu menjaga anaknya karena terlalu banyak pengaruh luar yang mencoba mempengaruhinya. Oleh karena itu, orangtua harus memberikan bekal kebenaran yang secukupnya sehingga dia mem­pu-nyai kekuatan untuk bertahan di dalam segala macam situasi. Amin.








Memuliakan Allah dan Berbahagia di dalam Dia
Nats : Yeremia 32:40-41; Mzm 63:2-9; Mz 16:11

Allah menciptakan manusia supaya mereka memuliakan Dia dan menikmati Dia. Kare­na itu, kebahagiaan manusia dan kemuliaan Allah harus dimengerti secara para­doks, kom­pre­hen­sif dan seimbang, bukannya mengutamakan yang satu dan mengabai­kan yang lain. Inilah kesalahan yang terjadi: Sebagian orang mencari kebahagiaan mere­ka sambil membelakangi Tuhan dan akhirnya menemui ke­han­cur­an mereka sendi­ri. Se­ba­liknya, yang lain karena berpegang pada konsep teologi yang pincang mereka berusaha untuk me­muliakan Tuhan tanpa pernah menikmati sukacita yang di­se­dia­kan Allah bagi mereka sehingga mereka menampilkan suatu keagamaan yang penuh beban dan tidak memuliakan Allah. Dalam renungan ini kita akan melihat bahwa memuliakan Allah dan kehidupan yang berbahagia merupakan dua hal yang terkait erat dan tak terpisahkan. 
Pertama, pada naturnya manusia itu mengasihi dirinya sendiri, sehingga di dalam diri setiap orang terdapat kecendrungan alamiah yang mendorong dia untuk memperhatikan dan merawat dirinya. Hal ini terlihat bahkan dalam diri orang yang dalam aspek tertentu kelihatan tidak terlalu memper­ha­ti­kan dirinya, tetapi sangat memperhatikan dirinya dalam hal yang lain. Blaise Pascal mengatakan, “Semua orang mencari ke­­ba­hagia­an. Tidak seorangpun yang terkecuali. Wa­lau­pun sarana yang mereka gu­na­kan itu ber­be­da, mereka semua tertuju kepada tujuan yang satu ini. Alasan mengapa se­­bagian orang pergi berperang, yang lain meng­hin­dari­nya, keinginan yang sama ada di dalam diri keduanya. Hanya pandangannya saja yang ber­beda.”
Apakah itu hal yang salah? Tidak! Mengusahakan kebahagiaan dan sukacita kita bukanlah hal yang salah di dalam Kekristenan, karena itu adalah maksud Allah ketika menciptakan kita. Dialah yang memberikan kepada kita kemampuan untuk bersukacita dan memberikan dorongan dalam diri untuk mencari kebahagiaan kita. Ini jugalah tujuan kedatangan Yesus, yaitu supaya kita beroleh hidup dalam segala kelimpahannya (Yoh 10:10b).
Kedua, apa yang dicela Alkitab bukanlah karena kita mengusahakan kebaikan dan ke­ba­ha­giaan kita, melainkan karena kita mencarinya di tempat yang salah dan de­ngan hal-hal yang salah, yaitu di luar Tuhan. Kesalahan inilah yang ditegur oleh nabi Yeremia ketika ia  mengatakan, “Sebab dua kali umatKu berbuat jahat: mereka me­­ninggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air.” (Yer 2:13). Seringkali orang menganggap Allah sebagai penghalang kebahagiaan dan sukacita manusia, dan inilah salah satu alasan mereka menolak Allah, padahal sebenarnya Allah adalah sumber sukacita dan kebahagiaan kita yang sejati, dan hanya di dalam Dia saja ke­ba­ha­giaan sejati itu kita dapatkan.
Hal inilah yang diingatkan oleh Pascal: “Sebelumnya, dalam diri manusia ter­da­pat kebahagiaan yang sekarang hanya ting­gal bekasnya, yang sekarang ia dengan sia-sia mencoba untuk mencari dari hal-hal di se­ke­lilingnya, mencarinya dalam hal-hal yang belum ia miliki karena apapun yang telah ia da­patkan tidak dapat memuaskan dia, tetapi semuanya itu tidak ada gunanya karena sua­tu jurang yang tak terbatas itu hanya dapat diisi oleh obyek yang tidak terbatas dan yang tidak mungkin berubah yaitu Allah sendiri.” Apa yang dikemukakan Pascal ini merupakan gaung dari pernyataan Augus­ti­nus jauh sebelumnya: “Ya Tuhan, Engkau telah menciptakan kami bagi diriMu, dan hati kami tidak akan mendapatkan kepuasan sebelum mendapatkannya di dalam Engkau.”
Sungguh ironis, orang yang meninggalkan Tuhan dengan harapan dapat me­nik­mati hidup ini dengan sepuas-puasnya adalah orang yang mengakhiri hidup mereka dalam penyesalan dan kehancuran. Se­ba­liknya, orang yang dengan penuh iman me­nye­­rahkan hidup mereka kepada Tuhan, menyangkal diri, memikul salib dan rela mati untuk Tuhan adalah orang yang hidupnya paling limpah dan bahagia. Inilah paradoks yang harus dipelajari oleh setiap orang. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Jim Elliot, seorang martir pionir misi kepada suku Auca di pedalaman Ekuador, ia meng­ata­kan, “Orang yang melepaskan apa yang tidak dapat dipertahankan untuk meng­genggam apa yang tidak dapat direbut daripadanya bukanlah orang yang bodoh.”
Ketiga, kebahagiaan yang kita usahakan itu tidak pernah boleh menjadi tujuan ter­ting­gi, yang menggeser posisi Allah sebagai yang utama di dalam hidup kita. Karena jika ini terjadi, berarti kita telah menjadikan Allah sebagai sarana pencapaian tujuan kita. Inilah kesalahan dari teologi yang bersifat an­troposentris, yang dari luar kelihatan sangat rohani, tetapi pada kenyataannya sangat menghina Allah karena menempatkan Allah di bawah manusia dan diperalat bagi tujuan manusia.
Sikap agama demikian tidak akan memberikan kebahagiaan sejati kepada manusia karena dengan menjadikan Allah hanya sebagai sarana, berarti manusia telah menjadikan dirinya sebagai landasan bagi kebahagiaannya, dan bukannya menjadikan Allah sebagai Tuhan yang berotoritas untuk memberi landasan bagi kebahagiaannya. Kehidupan yang tidak mengutamakan Allah ini pasti akan gagal karena manusia adalah pribadi terbatas yang dapat menopang dirinya sendiri. Hanya Allah satu-satunya yang memiliki kuasa dan anugerah untuk memberikan kebahagiaan kepada kita. Allah harus menjadi yang utama dalam hidup kita, benarlah yang dikatakan oleh raja Daud, bahwa “kasih setiaMu lebih baik daripada hidup[ku]” (Mz 63:4). Setiap orang yang iman yang sungguh-sungguh akan mengakui kebenaran ini.
Kita belum mencapai taraf kehidupan yang sehat dan benar-benar berbahagia jika kita sudah merasa puas dengan berkat-berkat Allah dan belum melihat bahwa Allah sendiri itulah yang berkat kita, dan kebahagiaan kita. Alkitab dipenuhi dengan ungkapan-ungkapan tentang sukacita melimpah dari orang-orang yang menikmati hidup persekutuan yang intim dengan Allah sendiri sebagai sumber sukacita dan kebahagiaan mereka. Seperti yang diungkapkan dalam Ayub 22:25-26, “dan apa­bila Yang Mahakuasa menjadi timbunan emasmu, dan kekayaan perakmu, maka sung­guh engkau akan bersenang-senang karena Yang Mahakuasa, akan menengadah ke­pa­da Allah.” Demikian juga dalam Mazmur 73:25-26: “Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau ? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” Tuhan adalah berkat kita yang sejati, tidak ada sesuatu apa pun yang dapat dibandingkan dengan Dia. Orang Kristen yang sejati mengerti bahwa sekalipun daging dan hati kita habis lenyap, dunia bergolak, harta kita lenyap, kekasih pergi meninggalkan dia, namun asal ada Tuhan maka ia tetap dapat beria-ria. Tuhan memampukan kita untuk bersukacita dalam segala keadaan.
Keempat, kebahagiaan merupakan buah dari kehidupan yang memuliakan Tuhan. Dengan kata lain, kita baru dapat menikmati kehidupan yang bahagia ketika kita hidup memuliakan Allah, sebab kehidupan yang memuliakan Allah merupakan kehidup­an yang berbahagia itu sendiri. Inilah paradoksnya, kehidupan yang memuliakan Tuhan tidak meniadakan kebahagiaan, sebaliknya justru menyempurnakannya.
Ketika C.S. Lewis menggumulkan hal memuliakan Allah yang demikian sering muncul dalam kitab Mazmur, dia menemukan pemahaman yang sangat indah. Ia men­je­las­kan: ada hal yang sering dilewatkan oleh manusia dalam memuji Tuhan atau apa saja. Mengenai pujian seringkali kita hanya berpikir tentang memberikan pujian itu – sekedar  suatu kewajiban belaka – dan  mengabaikan kesukaan spontan yang mengalir dalam pujian itu. Dunia menari bersama kita ketika kita memuji. Ketika seorang kekasih memuji pasangannya, pembaca terhadap bacaan kesukaannya, palancong terhadap tem­­pat favoritnya. Kita mengalami kesukaan yang melimpah ketika kita memuji apa yang kita sukai, karena pujian bukan hanya mengungkapkan sukacita tetapi menyem­pu­rna­kannya. Pujian adalah penyempurnaan yang ditentukan oleh Allah.
Ketika kita memuji Tuhan, ketika kita hidup memuliakan Dia, kita akan menemukan sukacita dan kebahagiaan kita disempurnakan di dalamnya. Dan Allah dimuliakan dalam sukacita yang kita nikmati di dalam Dia. Jikalau usaha kita untuk memuliakan Allah menjadi beban yang berat, dan tidak ada sukacita dan kebahagiaan di dalamnya, berarti ada sesuatu yang salah dalam ibadah dan kehidupan kita. Ajaran bahwa kehidupan yang memuliakan Allah harus meniadakan motivasi dan kesiapan kita untuk menikmati sukacita di dalam Tuhan bukanlah ajaran Alkitab, tetapi ajaran etika kewajiban dari Immanuel Kant. Kant mengajarkan bahwa suatu tindakan kebaikan tidak lagi baik jika terdapat motivasi untuk diri kita sendiri. Alkitab mengajarkan kita untuk menghampiri Tuhan dengan motivasi yang murni dan tidak memperalat Dia, tetapi sekaligus menjanjikan berkat bagi orang yang mencari Allah dengan sikap yang benar. Alkitab tidak mengajarkan kita untuk menghampiri Allah dan memuliakan Dia semata-mata karena kewajiban. Karena sikap demikian, meniadakan sukacita yang merupakan ciri-ciri dari ibadah yang sangat diperkenan Tuhan.
Perbuatan yang dilakukan karena kewajiban sangat berbeda dengan perbuatan yang didorong oleh kasih. Segala sesuatu yang dilakukan karena dorongan kasih yang tulus akan ditandai dengan keunggulan/terbaik dan kesukaan. Kita tidak mungkin memuliakan Allah jika pengabdian kita tidak disertai dengan sukacita dan kasih yang tulus kepadaNya. Firman kebenaran seharusnya membuat kita untuk melihat Allah yang mulia, kudus dan sempurna di dalam karakter, kuasa dan kebaikanNya, dan inilah yang menjadi landasan bagaimana ia berespon kepada Allah, yaitu membuat dia memuliakan Allah dengan penuh sukacita. Amin.









KEBERHASILAN   ANAK-ANAK   TUHAN
Nehemia 2:1-8

Tujuan:  Mengingatkan jemaat agar di dalam usaha untuk mencapai keberhasilan dalam hidup ini, mereka tidak boleh menghalalkan segala cara, sebaliknya mereka harus melakukannya dengan bergantung kepada  Allah dan mengikuti kehendak Tuhan.

Pendahuluan

Saudara, keberhasilan atau kesuksesan senantiasa menjadi dambaan setiap orang. Tidak seorangpun di dunia ini yang tidak menginginkan keberhasilan dalam hidupnya; siapapun dia tanpa terkecuali, apakah itu businessman, pegawai, pelajar dan mahasiswa atau siapa saja.   Dalam usaha untuk meraih keberhasilan,  ada berbagai macam cara yang dapat digunakan oleh orang. Salah satunya yang terkenal adalah dari Machiavelli:  menghalalkan segala cara untuk mencapai keberhasilan.  Namun jelas, ini bukan prinsip Alkitab.  Ini bukan yang dikendaki Allah.
Saudara-saudara, Allah kita bukan Allah yang anti kesuksesan.  Ia menginginkan setiap anak Tuhan berhasil dalam hidupnya.  Tetapi satu hal yang paling Ia kehendaki, bahwa keberhasilan itu kita capai melalui cara yang sesuai dengan kehendakNya, yaitu yang tidak bertentangan dengan firmanNya.
            Saudara, Nehemia merupakan salah satu contoh dari sekian banyak orang-orang yang telah mencapai keberhasilan tidak dengan cara-cara yang licik melainkan dengan bergantung kepada Allah. Di dalam perikop ini, kita melihat ada 3 teladan dari Nehemia yang dapat membantu kita di jaman ini untuk mencapai keberhasilan yang sama tanpa harus melanggar Firman Tuhan.

Teladan yang pertama,  mempergunakan kesempatan yang ada dengan bijaksana.
Saudara, Nehemia pertama kali mendengar berita yang menyedihkan tentang Yerusalem serta orang-orang sebangsanya yang ada di sana pada bulan Kislew, yaitu ketika Hanani salah seorang saudaranya besarta beberapa orang dari Yehuda datang ke puri Susan dan memberitahukan hal itu kepadanya (1:1).  Mendengar itu Nehemia menangis dan berkabung, berdoa dan berpuasa.  Di dalam pergumulan dan keprihatinannya akan nasib bangsanya Nehemia ingin melakukan sesuatu untuk menolong saudara-saudaranya.  Ia ingin melakukan sesuatu untuk memperbaiki nasib bangsanya.  Tapi bagaimana caranya?  Nehemia sadar bahwa satu-satunya peluang pertolongan yang bisa dia miliki saat itu untuk menolong bangsanya adalah melalui raja Artahsasta (1:11). 
            Dari ayat 1 kita dapat melihat bahwa akhirnya kesempatan bertugas itu tiba pada bulan Nisan, dimana Nehemia mendapat kesempatan untuk melayani dalam suatu pesta minum yang diadakan oleh raja[1].  Saudara, dari bulan Kislew, saat Nehemia pertama kali mendengar berita tentang Yerusalem(1:1),  sampai bulan Nisan,  saat dia memperoleh kesempatan melayani raja (2:1),  ada selang waktu 4 bulan.  Dari 1:4 kita tahu bahwa saat itu Nehemia telah melakukan doa dan puasa.  Tapi apa hanya sekedar doa yang dilakukan oleh Nehemia?
            Jika kita teliti dengan cermat jawaban-jawaban yang diberikan oleh Nehemia pada saat ia menjawab pertanyaan-pertanyaan raja (ay. 5–8), maka kita akan mendapat kesan bahwa jawaban-jawaban itu begitu terencana, terarah bahkan terkesan mendetail.  Nehemia telah meminta surat-surat pengantar untuk bupati-bupati sepanjang wilayah yang akan dilalui dalam perjalanannya ke Yehuda.  Ia meminta surat untuk Asaf, pengawas taman raja guna mendapatkan kayu yang akan digunakan untuk pembangunan.  Ia mengetahui dengan jelas bagian-bagian yang mana yang perlu diperbaiki dan dibangun: pintu gerbang bait suci, tembok kota dan rumah bagi dirinya sendiri.  Kemungkinan besar ini bukan suatu ide atau pemikiran yang tiba-tiba muncul di dalam pikiran Nehemia, melainkan ia telah memikirkan dan memformulasikan secara masak memformulasikan hal-hal yang dibutuhkan sehubungan dengan rencana pembangunan Yerusalem.
Itu berarti bahwa Nehemia telah memanfaatkan dengan sangat baik masa-masa dukacita dan doa, waktu penantian selama 4 bulan sebelum kesempatan itu tiba.   Sehingga ketika kesempatan emas itu tiba, maka kesempatan tidak dilewatkan dengan begitu saja, tetapi Nehemia dapat memberikan jawaban yang memuaskan bagi raja.  Dan kita lihat bahwa raja mengabulkan permintaan-permintaan Nehemia.  Saudara, salah satu faktor keberhasilan Nehemia adalah karena ia telah merencanakan segala sesuatunya dengan baik dan memanfaatkan kesempatan yang dimilikinya dengan tepat dan bijaksana. 

Ilustrasi

Saudara, saya percaya kita semua tahu semut.  Binatang yang kecil dan paling sering hadir di tempat yang ada makanannya.  Penulis Amsal (6: 6-8) menceritakan bahwa semut adalah binatang rajin.  Binatang ini mengumpulkan makanannya pada musim panas dan di musim panen.  Semut menggunakan kesempatannya di musim panas dan musim panen untuk mengumpulkan makanannya.  Dan di musim hujan, tatkala ia tidak dapat bekerja, ia tetap dapat hidup dengan selamat karena ia telah menggunakan kesempatan yang dimilikinya dengan bijaksanana.

Aplikasi

Saudara, jika semut binatang yang kecil ini bisa menggunakan waktunya dengan baik, bagaimana dengan kita selaku manusia yang berakal budi?  Saat kita diberi kesempatan untuk studi dan menikmati pendidikan, apa yang kita lakukan dengan masa-masa studi kita ini?  Saat kita diberi kesempatan melayani pekerjaan Tuhan, bagaimana kita memakai kesempatan yang dipercayakan kepada kita?  Saat kita diberi waktu untuk hidup di dunia ini, apakah kita telah menggunakannya dengan bertanggung jawab?  Melewatkannya dengan berleha-leha, dengan santai, menganut motto “ah.. masih banyak waktu nanti saja” atau kita mengisinya dengan belajar dan bekerja keras, memperlengkapi diri dengan baik?  Saudara, jangan sia-siakan kesempatan yang ada saat ini.  Jika kita ingin berhasil, gunakanlah setiap kesempatan yang ada dengan bijaksana.

Teladan yang kedua,  menggunakan kata-kata yang bijaksana. 
Saudara, penggunaan kata-kata yang bijaksana dari Nehemia terlihat khususnya pada saat ia harus membawa kasusnya kepada raja.  Ketika raja melihat roman muka yang sedih dari Nehemia, biasanya tidak seperti itu,  maka raja bertanya padanya:  “Mengapa mukamu muram, walaupun engkau tidak sakit?  Engkau tentu sedih hati.”  Mendengar pertanyaan ini Nehemia menjadi sangat takut.  Mengapa?  Di satu sisi pertanyaan ini memang membuka kesempatan bagi Nehemia untuk segera menyatakan penyebab kesedihannya dan menceritakan tentang keadaan Yerusalem kepada raja[2], tetapi di sisi lain jawaban ini juga menjadi penentu bagi respon raja terhadap kasus yang hendak disampaikannya.  Sebab itu sebelum Nehemia menjawab, ia berdoa supaya Allah memberikan padanya kata-kata bijaksana yang dibutuhkannya.
Langkah awal telah dilewati dengan baik, namun langkah selanjutnya juga membutuhkan hikmat bijaksana pula.  Kesalahan dalam menjawab akan menghancurkan secara total kesempatan yang telah dimiliki.  Maka dengan cara yang bijaksana Nehemia memulai jawabannya dengan ucapan yang biasa dikatakannya:  “Hiduplah raja untuk selamanya.”  Barulah kemudian ia menjelaskan kesedihannya dengan cara dan diplomasi yang sangat baik:  “Bagaimana mungkin tidak akan muram, kalau kota tempat pekuburan nenek moyangku telah menjadi reruntuhan dan pintu gerbangnya habis dimakan api? (2:3).
Saudara, dari jawaban Nehemia ini sebenarnya kita langsung dapat menduga bahwa kota yang Nehemia maksudkan pasti Yerusalem.  Tapi kalau kita melihat jawab Nehemia maka kita dapatkan bahwa tidak sekalipun ia menyebut nama Yerusalem.  Bahkan pada ayat 7 pun ia hanya menyebut Yehuda (ay. 7).  Ia hanya memberi sedikit informasi yaitu tempat pekuburan nenek moyangnya.  Ia tidak berdusta, tetapi ia memilih kata-kata yang tepat untuk menghidari dampak yang tidak perlu. Mengapa demikian? 
Jika kita melihat dari apa yang dicatat dalam Ezra 4:8-23, tentang raja Artahsasta maka kita dapat mengerti mengapa Nehemia memilih untuk tidak menyebut nama Yerusalem.  Di sana diceritakan bahwa pada waktu itu Rehum, seorang bupati dan Simsai, panitera telah menulis surat kepada raja Artahsasta tentang Yerusalem.  Tuduhan yang diajukan yaitu bahwa orang Yahudi yang ada di sana telah membangun kembali kota itu dengan tujuan untuk memberontak terhadap Persia.  Sebab itu dianjurkan untuk diadakan penyelidikan terhadap riwayat orang Yahudi, dalam hal ini yang berhubungan dengan kasus-kasus pemberontakan mereka pada masa-masa yang lampau.  Sebagai hasil dari penyelidikan ini maka akhirnya raja Artahsasta telah mengeluarkan satu dekrit yang memerintahkan pekerjaan pembangunan pada tembok-tembok kota Yerusalem dihentikan.
Nehemia tentu tahu kisah ini.  Sebab itu dengan tidak menyebut-nyebut nama Yerusalem, maka sebenarnya Nehemia dengan sangat bijaksana telah menjauhkan perhatian raja dari Yerusalem.  Ia berusaha mengalihkan perhatian raja dari hal-hal yang dapat membangkitkan ingatan raja akan masalah yang telah lalu itu.  Suatu tindakan yang sangat baik.  Pertanyaan raja dalam ayat 4: “apa yang kau inginkan?” dengan jelas menunjukkan kepada kita bahwa diplomasi Nehemia yang berhati-hati itu berhasil. Dan kita melihat bahwa Nehemia telah memetik hasil yang baik dari apa yang dilakukannya ini.  Raja mengabulkan semua permintaannya.
           

Ilustrasi

Saudara, pada waktu Daud berada di padang gurun Paran dalam usaha menghindar dari pengejaran Saul, ia telah mengutus 10 orang pengikutnya untuk menjumpai Nabal, seorang yang sangat kaya di tempat itu.  Ia meminta kemurahan hati Nabal untuk memberikan sesuatu bagi dia dan anak buahnya pada hari pengguntingan bulu domba sebagai sedikit balasan karena Daud telah menjaga gembala-gembala Nabal dari gangguan.  Tetapi Nabal telah menjawab permintaan Daud dengan kata-kata yang sangat kasar dan tidak bijaksana dan menyebabkan Daud sangat marah dan hendak membinasakan Nabal.  Tetapi Abigail istrinya yang cantik bertindak dengan sangat bijaksana.  Ia datang kepada Daud dan dengan perkataan yang sangat bijaksana ia telah memohon pengampunan Daud atas tindakan dan perkataan suaminya.  Dan perkataan yang bijaksana ini telah berhasil meredakan kemarahan Daud dan membuat Daud membatalkan rencananya membunuh Nabal (I Samuel 25:2-44).

Aplikasi

Saudara, banyak orang yang mencapai keberhasilannya dengan menggunakan kata-kata yang tidak benar, mereka tidak segan-segan untuk berdusta demi keuntungan bagi dirinya.  Di lain pihak, banyak orang menggunakan lidahnya dengan tidak bijak, sehingga dampak negatif yang dituainya.  Jika kita ingin berhasil, kita perlu belajar mengendalikan kata-kata kita.  Tidak berdusta, tetapi juga tidak bodoh.  Berkata-kata dengan penuh hikmat itulah yang harus kita lakukan.  Jika kita kekurangan hikmat mintalah kepada Tuhan sumber hikmat itu, pasti Ia akan memberikannya kepada kita.

Teladan yang ketiga,  sikap yang bijaksana dalam menanggapi keberhasilan
Saudara, Nehemia tak pernah memandang keberhasilannya itu sebagai hasil dari usahanya sendiri.  Nehemia sadar bahwa keberhasilannya hanya dimungkinkan karena campurtangan Allah.  Ini terlihat dari sikap yang diperlihatkannya dalam setiap hal yang harus dihadapinya. Dalam 1:11 sebelum ia melaksanakan rencananya, Nehemia terlebih dahulu menaruh seluruh rencananya  itu kepada Allah.  Nehemia mengakui kedaulatan Allah dalam memberikan keberhasilan pada orang yang dikehendakiNya.  Sebab itu ia meminta biarlah Allah berbelas kasihan dengannya dalam hal keberhasilan ini.

Ketika ia berhadapan dengan raja (2:4), dan diperhadapkan dengan suatu situasi yang sulit, disodorkan dengan pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang vital, maka Nehemia berdoa.  Ia memohon pimpinan Tuhan.  Suatu doa yang singkat, namun cukup menggambarkan sikap Nehemia yang sebenarnya terhadap Allah yang diyakininya sebagai pemberi keberhasilan itu.  Suatu sikap di mana Nehemia menyerahkan pikirannya kepada Allah – dengan segera- sebelum ia membuat satu jawaban yang penting.
Sikap Nehemia dalam memandang keberhasilannya sebagai pemberian Allah paling jelas terlihat dari pengakuan yang diucapkannya dalam ay. 8: “Dan raja mengabulkan permintaanku itu, karena tangan Allahku yang murah melindungi aku.” Memang dia telah memanfaatkan kemampuan-kemampuan pribadinya, namun ia tetap mengakui kedaulatan Allah sebagai pemberi keberhasilan itu.  Sikap Nehemia ini memimpin dia untuk meraih kesuksesan yang berikutnya, pada waktu proyek utamanya, yaitu pembangunan tembok Yerusalem, dikerjakan.  Seseorang yang sering melecehkan Allah dengan mengabaikan atau melupakan peran serta Allah di dalam keberhasilannya, suatu kali tentu akan merasa kejatuhan.  Tetapi seseorang yang selalu mengakui bahwa di balik semua kesuksesannya ada tangan Allah yang telah bermurah hati kepadanya, tentu akan terus dipelihara Allah.

Ilustrasi

Saudara, pengakuan Nehemia ini mengingatkan  saya akan sebuah lagu yang dikarang oleh seorang dosen saya.  Lagu yang mungkin sudah sangat anda kenal.  Lagu yang saya yakini juga merupakan pernyataan sikap beliau dalam memandang setiap berkat Allah yang sudah ia peroleh, termasuk segala keberhasilannya dalam pelayanannya.

Bukan karena kebaikanmu

Bukan karena fasih lidahmu
Bukan karena kekayaanmu
Kau dipilih, kau dipanggilNya

Bukan karena kelebihanmu
Bukan karena baik rupamu
Bukan karena kecakapanmu
Kau dipanggil, kau dipakaiNya

Bila engkau dapat itu karenaNya      
Bila engkau punya semua dari padaNya
Semua hanya anugrahNya dibrikanNya pada kita
Semua anugrahNya bagi kita jika engkau dipakaiNya

Aplikasi

Jika Nehemia dalam semua keberhasilannya dapat memberi pengakuan bahwa Allahlah yang telah memberikan dia keberhasilan itu. Apakah setelah kita berhasil kita menganggap bahwa itu adalah karena kemampuan kita, usaha kita, kerja keras kita dan melupakan bahwa di belakang semua itu berdiri Allah yang berdaulat.  Allah yang telah memberi kita kesempatan untuk menikmati hasil kerja kita dengan apa yang kita namakan keberhasilan. Saudara, bila engkau dapat itu karenaNya.  Jika engkau punya itu semua dari padaNya.  Jika engkau berhasil itu karena pemberianNya.  Semua itu anugrah semata yang diberikanNya pada kita. 



Amin





[1] Raja-raja Persia terkenal dengan pesta-pesta minum mereka (bdg Est 1:3)
[2] Saat itu seorang pelayan tidak diijinkan untuk membuka pembicaraan apapun dengan raja.  Inisiatif pembicaraan harus datang dari raja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar